Nelayan sedang menjaring ikan dengan pukat darat di tepi pantai Desa Pasi Rawa, Kecamatan Kota Sigli, Privinsi Aceh, beberapa waktu (Foto: MI/Amiruddin MR) |
RILIS.NET, Aceh Timur - Ribuan Nelayan tradisional di provinsi Aceh resah akibat maraknya aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau (pukat trawl).
Pasalnya, aksi penangkapan ikan tidak menghiraukan kelestarian alam, itu adalah ancaman populasi ikan dan kehidupan hewan laut lainnya. Bahkan telah merusak ribuan hektere taman laut dan terumbu karang di peraran setempat.
Bila persoalan ini tidak segera ditertipkan oleh penegak hukum atau kementerian terkait dikahawatirkan akan terjadi konflik antara nelayan tradisional dan pengusaha kapal tangkap yang menggunakan pukat harimau.
Penelusuran Media Indonesia, yang dikutip RILIS.NET, aksi pukan harimau yang paling parah di perairan Selat Malaka itu antara lain tersebar di perairan Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang.
Padahal para nelayan tradisional sepanjang pesisir Aceh itu telah berulangkali bersuara melalui media massa dan melampirkan ke pihak berwenang. Tapi suara kaum nelayan kecil ini seperti tidak terdengarkan.
Muslim, nelayan tradisional di pesisir Kecamatan Idi, Kabupaten Aceh Timur, seperti dilansir Media Indonesia 29 Agustus lalu mengatakan, setelah pukat harimau ramai beroperasi sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan kecil.
Bahkan mereka yang biasanya berlayar dengan perahu atau pengguna sampan kayu terancam krisis hasil tangkapan. Bahkan mereka pernah tidak mendapatkan apa-apa walaupun seharian sudah berlayar.
"Yang turun ke laut malam dan pulang siang sajak krisis hasil tangkapan, apalagi mereka yang mengandalkan pukan darat di tepi pantai. Sayangnya di tengah kesulitan akibat kondisi pandemi Covid-19 , tertimpa lagi oleh keserakahan pengusaha kapal besar. Kalau begini kemana lagi nelayan kecil menopang nafkah keluarga," tutur Muslim kepada Media Indonesia saat itu.
Tak hanya Muslim, sejumlah nelayan lainnya yang ada di Aceh Timur juga menuturkan pernyataan yang hampir sama, seperti sejumlah nelayan di Kuala Leuge dan Kuala Bugak yang ada di Kecamatan Peureulak Aceh Timur.
Dari penelusuran media ini kepada sejumlah panglima laut, pada dasarnya mereka sangat sepakat dengan pendapat para nelayan tradisional, namun dalam pelaksanaan aturan dan ketegasan hukum itu dianggap ada pada pihak ataupun penegak hukum yang dapat mengambil kebijakan dilapangan.
Panglima Laot Kuala Leuge dan Sekretaris Panglima Laot Kuala Bugak misalnya, sebagai pemangku jabatan adat mereka mengaku sebelumnya kerab mendapatkan laporan dari nelayan, khususnya terkait dengan lokasi beroperasinya pukat harimau itu.
"kadang yang kita terima laporan dari jaring udang," kata Sekretaris Panglima Laot Kuala Bugak Abu Kamal, Rabu (15/9) malam. Namun untuk keterangan informasi lebih lanjut Abu Kamal turut menyarankan agar dapat menghubungi panglima laot setempat kepada media ini.
Seperti dilansir mediaimdonesia.com sebelumnya, Dosen Hukum Adat dari Universitas Syiahkuala(USK) Banda Aceh, M Adli Abdullah, Sabtu (28/8) lalu kepada mediaindonesia.com turut mengatakan, agar penegak hukum harus proaktif dengan persoalan yang terjadi di laut.
Apalagi menyangkut dengan kehidupan orang banyak dan kerusakan alam. Penanganan lebih cepat, terukur, seuai hukum dan efektif bisa menyelesaikan semua pelanggaran.
Mantan Sekjen Panglima Laot Provinsi Aceh ini menegaskan, hukum positif tentang kelautan dan perikanan tidak boleh terabaikan.
Lalu hukum adat laot untuk teritorial wilayah Aceh juga tersedia untuk mengatasi pelanggaran oleh siapa saja.
"Di hukum adat laot Aceh tertera, siapa saja melakukan pelanggaran seperti menggunakan jaring trawl atau pukat harimau, sanksinya antara lain semua hasil tangkapan disita, kapal yang digunakan juga disita. Tidak ada yang kebal dengan hukum yang telah diakui tersebut," tegas M Adli Abdullah yang kini juga Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum Adat tersebut. (rn/red).
0 facebook: