Pengacara dari IKADIN Auzir Fahlevi, SH (Ist) |
RILIS.NET, Aceh Timur - Pelaporan Ketua LSM KANA Muzakkir terkait pemberitaan yang ditayang oleh Media Rilis.net selaku pekerja/perusahaan pers, oleh lembaga Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Aceh Timur ke Satreskrim Polres Aceh Timur terkait dugaan pencemaran nama baik oleh LSM melalui media, merupakan salah satu bentuk pengekangan dan perampasan kemerdekaan pers sebagaimana diatur didalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Hal itu, ditegaskan oleh Pengacara/Advokat dari Organisasi Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Auzir Fahlevi SH, pada Selasa 29 September 2020, melalui rilis yang turut diterima media ini, Selasa sore.
"LSM dalam kapasitasnya sebagai pengontrol sosial dan kepentingan publik mengacu Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat," kata Auzir Fahlevi.
Kemudian juga disebutkan dalam Pasal 28F UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
"Perlu diketahui bahwa ketentuan UUD 1945 merupakan induk dan panglima hukum tertinggi dari aturan hukum lainnya. Pekerja Pers seperti wartawan juga menjalankan tugas dan profesinya mengacu kepada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers," tandas Auzir.
Jadi, tambah praktisi hukum ini, mekanisme pelaporan atau penyelesaian atas adanya dugaan pemberitaan yang dianggap melenceng dari UU Pers dan Kode etik jurnalistik adalah bagian dari ranah Pihak Dewan Pers, bukan dengan melaporkan persoalan tersebut kepada pihak Kepolisian.
"Jadi sebenarnya proses pelaporan Saudara Muzakkir dan Media Rilis Net oleh pihak APDESI Aceh Timur sungguh tidak tepat kecuali Pihak APDESI memiliki tendensi lain dibalik pelaporan tersebut," tambahnya.
Menurut Auzir, pemberitaan soal APDESI terkait kegiatan Bimtek LEMPANA memang ada korelasi karena APDESI adalah lembaga yang menaungi para Keuchik/Perangkat Desa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut apalagi kegiatan Bimtek itu menggunakan dana Publik alias dana desa.
Padahal sambungnya, didalam UU Pers telah disebutkan bahwa siapapun yang merasa dirugikan atas pemberitaan dan informasi yang diterbitkan oleh pihak pers/media diberikan ruang untuk menyanggah dan mengoreksi melalui hak jawab dan koreksi. Prosedur penyelesaiannyapun ada melalui pengaduan khusus kepada pihak Dewan Pers.
Jadi menurut Auzir, perlu diingat bahwa UU Pers itu lex specialis, berlaku secara khusus dan parsial, tidak serta merta dapat dilampaui melalui aspek hukum pidana maupun perdata. Pada beberapa kasus yang telah menjadi yurisprudensi atau diputuskan melalui pengadilan atas perkara yang sama, proses penyelesaian kasus pers ujung-ujungnya juga melibatkan pihak Dewan Pers.
"Karena itu, Penyidik Satreskrim Polres Aceh Timur untuk bertindak objektif dan prosedural dalam menangani kasus Saudara Muzakkir dan Media Rilis Net dengan memperhatikan azas hukum equality before the law/persamaan hak atas hukum dan tidak melanggar sistem serta manajemen penyidikan sesuai peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019," sambungnya.
Sebagai warga negara atau Badan Hukum, memang menjadi Hak Hukum pihak APDESI untuk melaporkan siapapun yang dianggap telah mencemarkan dan menghina lembaga APDESI kepada Kepolisian karena pelanggaran hukum dalam konteks UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) merupakan delik aduan.
"Tapi yang perlu dipahami bahwa APDESI sebagai lembaga Perkumpulan Keuchik atau Kepala Desa khususnya di Aceh dapat bersikap arif dan bijaksana dalam merespon setiap masalah yang timbul diranah publik," ujar Auzir Fahlevi lagi.
Sebagai Badan Hukum, tentunya Pihak APDESI bisa saja mengedepankan pendekatan alternatif penyelesaian perkara tersebut melalui Somasi atau merujuk kepada pasal 13 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat Aceh disebutkan ada 18 item perkara yang dapat diselesaikan melalui Gampong/Perangkat Desa termasuk didalamnya soal fitnah,hasut,pelecehan dan pencemaran nama baik.
"Miris sekali bila kemudian APDESI Aceh Timur secara langsung melaporkan perkara yang dianggap mencemarkan nama baik lembaganya ke pihak Kepolisian. Tindakan pihak APDESI sama saja tidak menghargai produk hukum lokal berupa Qanun Aceh tentang Adat Istiadat Aceh yang menjadi dasar penyelesaian perkara yang terjadi di dalam masyarakat baik secara sektoral di Aceh Timur atau Aceh secara umum," ulas Auzir.
Karena itu, tentunya ia berharap bahwa mekanisme penyelidikan yang tengah dilakukan oleh rekan-rekan penyidik Satreskrim Polres Aceh Timur itu harus benar-benar berpedoman pada Pasal 5 sampai 9 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
"Sebagai atasan hukum penyidik, Kasatreskrim maupun Kapolres Aceh Timur bisa saja mempertimbangkan adanya upaya perdamaian berdasarkan petunjuk pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Kapolres Aceh Timur saat melakukan mediasi perdamaian dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum Polsek Nurussalam terhadap orang tidak waras di Desa Bagok Sa Kecamatan Nurussalam pada bulan mei 2020 lalu," sebut Auzir Fahlevi.
Mediasi itu tanbah Auzir, juga tidak terlepas dari upaya pendekatan kekeluargaan secara adat Gampong atau reusam Aceh berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang pembinaan adat istiadat Aceh. (rn/red)
0 facebook: