Friday, September 6, 2019

Alternatif Pengaturan Pidana LGBT Dalam KUHP

Foto: Johan Imanuel, detiknews
rilisNET, Jakarta - Setelah Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 banyak pihak atau kalangan yang menafsirkan berbeda-beda. Ada yang menafsirkan bahwa Putusan tersebut cenderung melegalkan LGBT ada pula yang menafsirkan bahwa Putusan tersebut menyatakan bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk membuat tindak pidana baru.

Secara resmi melalui Juru Bicara MK, Fajar Laksono menyampaikan bahwa lima hakim berpendapat bahwa substansi permohonan dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara mendasar baik subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya (kompas.com, 18/12/2017).

Tentunya jika pengaturan LGBT tidak segera diselesaikan maka pengaturan LGBT akan menjadi gamang atau kekosongan hukum yang berlarut-larut. Mengacu Putusan MK diatas bahwa wewenang untuk membuat delik atau tindak pidana baru hal ini memang telah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) dan (2) yang menyatakan kekuasan pembentukan undang-undang ada pada DPR dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Lebih lanjut, pernah dipublikasikan dalam hukumonline.com (2012) bahwa proses pembentukan UU diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) . Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 27/2009

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui undang-undang adalah: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Merujuk proses pembentukan UU diatas, bahwa mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) bahwa sudah saatnya diatur dalam UU dalam hal ini dalam KUHP mengingat Pasal 292 KUHP belum mengatur secara tegas tentang LGBT. 

Namun, teringat pada masa Presiden Habibie bahwa dalam KUHP pun tidak menutup kemungkinan untuk disisipkan klausul baru. Adapun pernah dilakukan dalam Pasal 107 Tentang Kejahatan Keamanan Negara yang mengakomodir larangan tentang penyebaran paham komunisme, marxisme dan leninisme yang sebelumnya hanya diatur Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

Perlu diketahui, bahwa DPR RI pun telah menyiapkan perumusan tentang pidana LGBT dalam RUU KUHP (detik.com, 18/12/2017). Apakah nanti akan masuk dalam RUU KUHP yang rencana akan disahkan pada Januari 2018? Publik masih menunggu.

Kembali mengenai LGBT, bahwa sudah sepatutnya tindakan LGBT dikualifikasikan sebagai suatu delik (tindak pidana) karena dapat merusak moral bangsa Indonesia. Apalagi dalam Seminar Nasional Rekodifikasi Dan Adaptasi Unsur-Unsur Lokal Dalam Rancangan KUHP (2016) dipaparkan bahwa pergerakan LGBT di Indonesia sudah sejak tahun 1960an. 

Mengingat pentingnya diatur pidana untuk LGBT, maka Pemerintah sebaiknya mengatur perubahan klausul pada Pasal 292 KUHP yang terkait perbuatan cabul sesama jenis ke dalam Undang-Undang sebagaimana hal pernah dilakukan dalam pemerintahan Presiden Habibie dalam melakukan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Ini merupakan alternatif pengaturan sanksi pidana bagi LGBT sebelum diatur kemudian hari di RUU KUHP.

Mengenai isi klausul nya tentu Pemerintah dapat meminta masukan-masukan dari pihak – pihak yang berperkara terkait Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 karena memang lebih memahami plus minus tentang LGBT kenapa harus diatur secara tegas pidananya dalam KUHP saat ini.

Apabila dapat disisipkan, maka beberapa usulan klausul yang dapat direkomendasikan sebagai berikut :Pertama, pengaturan klausul atas delik perbuatan cabul dalam hubungan sesama jenis kelamin antara pria dengan pria baik yang diketahuinya sama-sama sudah dewasa ataupun keduanya belum dewasa. Klausul ini untuk pidana perbuatan cabul bagi sesama gay (homosexualitas);

Kedua, pengaturan klausul atas delik perbuatan cabul dalam hubungan sesama jenis kelamin antara wanita dengan wanita baik yang diketahuinya sama-sama sudah dewasa ataupun keduanya belum dewasa. Klausul ini untuk pidana perbuatan cabul bagi sesama lesbian;

Ketiga, pengaturan klausul atas delik perbuatan cabul dalam hubungan kepada kedua jenis kelamin antara pria dengan pria maupun wanita atau wanita dengan pria maupun wanita baik yang diketahuinya sama-sama sudah dewasa ataupun keseluruhannya belum dewasa. 

Klausul ini untuk pidana perbuatan cabul bagi pria atau wanita yang bisexualitas; Keempat, pengaturan klausul atas delik perbuatan cabul antara hubungan jenis kelamin yang antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita yang salah satu atau keduanya telah melakukan transisi kelamin baik yang diketahuinya sama-sama sudah dewasa ataupun keduanya belum dewasa. Klausul ini untuk pidana perbuatan cabul bagi pria atau wanita yang salah satu atau keduanya telah transgender;

Oleh karena pentingnya pidana terhadap LGBT ini, maka pemerintah harus mengambil langkah cepat dalam membuat pengaturan pidana atas delik tersebut tanpa harus menunggu disahkannya KUHP yang baru sehingga moral dan budaya bangsa ini tetap terlindungi melalui norma hukum sesuai dengan prinsip negara hukum.

"FIAT JUSTISTIA PEREAT MUNDUS"


Johan Imanuel
Member PERADI dan Partner Pada Bireven & Partners (wwn/wwn)


Sumber: detiknews


BAGIKAN

0 facebook: