Thursday, September 5, 2019

Australia Bikin Satgas Khusus Atasi Pengaruh Cina di Berbagai Kampus


rilisNET, Sidney - Australia secara resmi akan menyelidiki pengaruh asing di universitas-universitas mereka di tengah kekhwatiran meningkatnya pengaruh China di kampus-kampus.
Kebijakan ini diambil terkait laporan adanya mahasiswa dan staf yang melakukan "swasensor" dalam isu-isu sensitif, semisal protes prodemokrasi di Hong Kong.
Pemerintah Australia juga menyatakan beberapa universitas menjadi sasaran serangan siber yang disponsori oleh China.
Pemerintah kemudian membentuk satuan tugas atau satgas intelijen untuk mengatasi ancaman-ancaman ini.
"Universitas juga harus bertindak untuk melindungi informasi berharga yang mereka miliki, di mana ini juga merupakan bagian dari kepentingan nasional," kata Menteri Pendidikan Dan Tehan, seperti dilaporkan BBC, Senin (2/9/2019).
Tehan menghubungkan langkah mengatasi campur tangan asing ini dengan perluasan perlindungan kebebasan bicara dan kebebasan akademis di kampus.
Universities Australia, kelompok asosiasi universitas di sana, menyambut baik pengumuman ini sembari mengatakan perlunya sikap berimbang dan hati-hati. Menanggapi pengumuman ini, China menyebut tuduhan itu tak beralasan.
Pengumuman ini dibuat pada 28 Agustus, tanpa menyebut nama negara tertentu. Namun belakangan kekhawatiran terhadap pengaruh China di kampus-kampus meningkat.
Belum lama ini terjadi bentrokan di sejumlah universitas antara mahasiswa yang mendukung gerakan prodemokrasi di Hong Kong dengan mahasiswa China daratan yang mendukung pemerintah mereka.
Bentrokan ini menjadi salah satu hal yang membuat pengumuman ini dikaitkan dengan kekhawatiran akan pengaruh China.
"Kita harus menciptakan lingkungan di mana ketidaksepakatan bisa dilakukan dengan aman tanpa ancaman," kata Tehan.
"Beberapa mahasiswa dan staf di kampus menyensor diri sendiri karena takut akan diteriaki atau dikecam apabila mengungkapkan pandangan mereka yang sesungguhnya. Ini harus menjadi perhatian kita bersama," ujarnya.
Ketegangan juga terjadi di mana laporan tentang mahasiswa China dengan agresif menentang kurikulum di kampus-kampus Australia.
Seorang pengajar di University of Melbourne, Australia, yang dihubungi oleh BBC News merasakan adanya ketegangan semacam itu.
Sesudah bentrokan antara mahasiswa Hong Kong dan China daratan di Monash University dan RMIT, ketika diadakan Open Day di kampusnya, semua seksi terkait China dijaga secara khusus.
"Selain itu banyak terjadi bullying di kelas dan aplikasi WhatsApp dan WeChat," katanya.
Seorang pengajar dikatakan sebagai "Hong Kong Pigs" ketika sedang mengajar dan mengkritik kebijakan pemerintah China terhadap Hong Kong.
"Kebebasan akademik sedang terancam secara langsung," katanya lagi.
Di sisi lain, sektor pendidikan tinggi Australia sendiri dikritik lantaran sangat tergantung secara finansial pada mahasiswa internasional. Jumlah mahasiswa China kini nyaris sepertiga dari seluruh mahasiswa internasional di Australia.
Pemerintah mengatakan, tim University Foreign Interference Taskforce -yang terdiri dari agen intelijen, birokrat pendidikan, dan pimpinan universitas- ditujukan untuk meningkatkan pertahanan siber di universitas.
Bulan lalu, Australian National University memastikan bahwa mereka menjadi sasaran penjebolan data besar-besaran, di mana data 200.000 orang mahasiswa dan staf telah dicuri.
"Menurut laporan dari Australian Cyber Security Centre, universitas di Australia terus menjadi sasaran," tutur Tehan lagi.
Dia menyatakan, tim ini akan mengembangkan perlindungan untuk membantu universitas melindungi riset dan kekayaan intelektual mereka, serta membuat kerja sama dengan akademisi asing berlangsung "lebih transparan".
Australia meloloskan undang-undang pada 2017 yang menyaratkan organisasi asing untuk mendaftar dan mengumumkan hubungan mereka dengan pemerintah negaranya.
Pemerintah Australia tengah menyelidiki peran Confucius Institutes, pusat bahasa dan kebudayaan China, yang didanai pemerintah China. Lembaga ini hadir di kampus-kampus tetapi belum mendaftarkan diri.
Kantor berita AFP menyebut, berbagai universitas di Australia menerima puluhan juta dolar Amerika dari China untuk mendirikan lembaga Confucius Institutes untuk pengajaran bahasa.
Kekhawatiran terhadap lembaga ini muncul di negara bagian New South Wales dan pemerintah setempat membatalkan kontrak dengan mereka untuk mengajar program bahasa di sekolah-sekolah negeri.
Menanggapi langkah pemerintah Australia ini, juru bicara kementerian luar negeri China Geng Shuang seperti dikutip kantor berita AFP menyatakan hal itu tidak berdasar dan dibuat berdasarkan niat buruk.
"Mempolitisir kerja sama pendidikan dan membuat hambatan tidak akan menguntungkan pihak mana pun," ujar Geng

Sumber: iNews
BAGIKAN

0 facebook: