Monday, July 13, 2020

Pengusaha Media dan Jurnalis di Aceh Bentuk Organisasi FJA

Aceh Federation of Journalist
RILIS.NET, Banda Aceh - Reformasi telah mengubah wajah pers menuju era kemerdekaan jurnalistik Indonesia dan Aceh, setelah rezim pendahulu menutup peranan pers menjadi lembaga yang independen. Keterlibatan negara pada masa lalu dalam mengendalikan pers adalah kemunduran yang tidak boleh terulang pada masa depan. Itu sebabnya, organisasi  wartawan harus inklusif bukan eksklusif. Dari sanalah, muncul gagasan untuk melahirkan Federasi Jurnalis Aceh atau disingkat FJA.
Organisasi ini dibidani H. Muhammad Saleh, seorang wartawan senior di Banda Aceh serta Ahmad Mirza Safwandy SH. MH, seorang pengusaha media di Aceh. Kelahirannya di dasari dari keprihatinan terhadap kondisi nyata wartawan saat ini di Aceh yang terus mendapat perlakuan kekerasan (kriminalisasi) dari beragam pihak yang memiliki kepentingan.
Namun, posisi wartawan sebagai pihak korban, belum sepenuhnya mendapat perlindungan dan pembelaan hukum secara maksimal. Jika pun ada hanya sebatas sikap keprihatinan. Apalagi, jika berhadapan dengan penguasa dan pemilik modal.
"Itu sebabnya, demokrasi yang telah membuka jalan dari ketertutupan menuju kebebasan, harus pers mampu berdiri melalui sebuah organisasi yang benar-benar memihak dan membela anggotanya atau jurnalis tanpa melihat latar belakang perusahaan media, organisasi serta status," jelas Ahmad Mirza Safwandy, salah seorang inisiator, Senin, 13 Juli 2020 di Banda Aceh.
Masih kata Mirza, dari amatan pihaknya. Sebenarnya potensi para jurnalis muda dan berbakat di Aceh sangat besar. Hanya saja, mereka belum mendapat pembinaan dan pendidikan secara merata. Karena itulah, kehadiran Federasi Jurnalis Aceh atau disingkat FJA, juga akan merangkul pers kampus dan pers dayah atau pesantren di Aceh.
Sebaliknya, kehadiran Federasi Jurnalis Aceh atau disingkat FJA, bukan untuk berkompetisi dengan berbagai organisasi wartawan lainnya yang ada saat ini. Tapi, bermitra dalam bentuk penguatan kualitas dan kapasitas menuju perusahaan pers  dan wartawan profesional.
"Pers berfungsi menjaga keseimbangan (check and balances) antar kekuasaan yang kewenangannya diberikan secara konstitusional. Sebab itu pers disebut sebagai pilar ke-empat demokrasi. Perkembangan pers semakin pesat, industri media pun tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Tidak terkecuali di Aceh, yang baru saja menata kebebasan pasca perdamaian," sebut Mirza.
Sementara H. Muhammad Saleh berpendapat. Kehadiran pers bagi kehidupan rakyat Aceh, sejatinya mengawasi kekuasaan agar dalam penyelenggaraan kehidupan publik dan kepentingan umum, dilaksanakan secara bertanggungjawab. Sebab, Aceh telah melewati beberapa fase kehidupan baru, mulai proses rehabilitasi dan rekontruksi akibat bencana tsunami.
Di sisin lain, program reintegrasi dan pelaksanaan butir-butir MoU Helsinki serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh sebagai pelaksanaan perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Menjadi tonggak sejarah baru karena untuk pertama kali di Indonesia pengaturan calon independen diatur dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Di Aceh, Pilkada telah dilaksanakan tiga kali pasca perdamaian Helsinki.
Nah, pertumbuhan demokratisasi di Aceh hidup dengan segala keunikan, diantaranya, kehadiran peserta pemilihan yang berasal dari Partai Lokal (Parlok). Sesuatu yang tidak dimiliki propinsi atau daerah lain di Indonesia.
"Dalam perjalanan demokrasi Aceh, kehadiran pers telah mewarnai perubahan dan mendorong tujuan dimaksud. Karenanya, dibutuhkan perspektif jurnalisme perdamaian, guna menjaga kepentingan Aceh sebagai local interest," sebut dia.
Begitupun, muncul tantangan yang dihadapi pekerja media di Aceh antara lain, terbatasnya akses untuk ikut serta dalam penguatan kompetensi jurnalis, sertifikasi perusahaan pers, keanggotaan dalam organisasi profesi.
Dan yang lebih miris adalah, permasalahan hukum serta teror yang dihadapi jurnalis. Selain itu, praktek jurnalisme dalam bisnis di era virtual hingga menciptakan iklim kebebasan pers masih menjadi tantangan tersendiri.
"Kami memandang bahwa, pembangunan solidaritas kepada jurnalis merupakan suatu keharusan. Melalui sebuah gerakan yang dinamakan Manifesto Kutaraja, Insan Pers di Aceh mencoba merintis jalan baru. Manifesto Kutaraja atau yang disingkat; MANIFESKU adalah penegasan dan pernyataan sikap guna mengembangkan kehidupan pers di Aceh," tegas Shaleh, begitu dia akrab disapa.
Menurut Shaleh, perjuangan ini merupakan usaha terhadap perlindungan dan peningkatan kemerdekaan pers Aceh yang berdasarkan prinsip-prinsip, syariat Islam, perdamaian, demokrasi, kedaulatan atas hukum, dan kemanusiaan.
"MANIFESKU akan diumumkan pada bulan Agustus 2020, sebagai tanda bahwa energi wadah ini tidak terlepas dari semangat kemerdekaan. Dalam konteks Aceh. Bulan Agustus juga bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia serta perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia," jelas Shaleh dan diamini Ahmad Mirza Safwandy.
Gerakan ini diisiasikan para jurnalis, akademisi, dan pelaku usaha yang bergerak pada perusahaan pers maupun tokoh masyarakat. Untuk itu, harapan berdirinya sebuah organisasi pers yang bebas dan bertanggung jawab semakin menjadi penting. Dalam upaya memelihara dan membesarkan tanggung jawab, meneguhkan disiplin jurnalis dan menjaga integritas.
"Maka kelahiran sebuah organisasi Federasi Jurnalis Aceh (FJA) menjadi strategis dan suatu keniscayaan," ungkap keduanya.
Gagasan pembentukan FJA adalah ikhtiar jurnalisme dan harapan untuk terwujudnya jurnalis yang profesional, kompeten, kredibel, dan berintegritas, serta mendahulukan informasi yang berdasarkan kebenaran.
FJA ikut berperan dalam merawat independensi pers, menghadirkan jurnalisme yang inklusif, yang tunduk pada aturan dan regulasi pers nasional, kode etik atau code of conduct, dan kebijakan serta peraturan Dewan Pers sebagai perpanjangan tangan negara dalam mengawasi perusahaan serta organisasi maupun jurnalis di Indonesia.
"Nah, atas dasar itulah, kami mengajak jurnalis, perusahaan pers dan akademisi di Aceh untuk; GERAK SETARA, MAJU BERSAMA, menjadi inisiator dan pendiri Federasi Jurnalis Aceh yang akan segera dideklarasikan. Yang bergabung dan menjadi inisiator FJA. Hingga kini ada sejumlah akademisi dan praktisi hukum yang sudah bersedia kami tempatkan sebagai Dewan Komisi Etik," jelas Shaleh.
Sebagai landasan awal berpijak, para inisiator ini menetapkan tujuh butir platform pendirian FJA yang mereka sebut; Tujuh Manifesto Kutaraja. Pertama, bahwa kemerdekaan pers merupakan hak asasi warga negara yang patut diperjuangkan dan dijaga kewibawaannya.
Bahwa kerja-kerja pers berdiri di atas penghormatan terhadap Pancasila sebagai norma fundamental negara, perlindungan atas kemerdekaan berdasarkan UUD 1945 dan nilai-nilai syariat Islam yang menjadi ruh dalam hukum dan kebudayaan Aceh.
Kedua, berkomitmen menegakkan spirit (semangat) jurnalisme perdamaian. Karena itu tidak dapat dipisahkan dalam sejarah panjang Aceh, pasca perdamaian Aceh yang dilaksanakan pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Ketiga, berupaya untuk mendorong tegaknya UU No:40/1999 tentang Pers, kode etik jurnalistik serta peraturan Dewan Pers kepada seluruh insan Pers.
Keempat, berkomitmen untuk mendorong sertifikasi media sebagai sarana kualifikasi terhadap eksistensi perusahaan pers.
Kelima, berupaya untuk mendorong terwujudnya jurnalis yang berkompetensi, terakses dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui media workshop, seminar, dan kegiatan edukatif dengan tujuan sebagai penguatan kapasitas atau kompetensi jurnalis.
Keenam, mendorong lahirnya Qanun Aceh, Tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Kehidupan Pers di Aceh.
Ketujuh, Insya Allah semua itu akan diwujudkan melalui sebuah organisasi bernama Federasi Jurnalis Aceh atau disingkat FJA. (Redaksi)
BAGIKAN

0 facebook: