Friday, May 22, 2020

Fenomena Alam Semasa Covid, dari Dentuman Misterius Hingga Asteroid

Ilustrasi matahari lockdown. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

RILIS.NET, Jakarta - Semasa pandemi Covid-19 masyarakat di penjuru bumi mengalami berbagai fenomena alam. Sebagian sudah diprediksi dan bisa dijelaskan secara ilmiah, namun ada di antaranya yang misterius sampai saat ini.



Berikut lima fenomena alam yang terjadi selama pandemi Covid-19 yang dilansir CNNIndonesia.com Jumat (22/5/2020).

1. Dentuman Misterius di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah

Pada Kamis (21/5) warga Bandung, Jawa Barat dihebohkan suara dentuman misterius. Fenomena alam itu bukan yang pertama kali kejadian semasa pandemi, warga Jabodetabek sempat merasakan hal yang sama pada awal April dan warga Jawa Tengah pada 11 Mei.

Para ahli hingga saat ini belum dapat menjelaskan sumber dentuman. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan dentuman di Jawa Barat tak disebabkan oleh gempa bumi dan petir.

Dentuman yang terdengar di Jabodetabek dispekulasikan karena aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau, namun Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi ESDM, dan BMKG mengatakan, dentuman bukan akibat Gunung Anak Krakatau. 

Banyak peneliti melempar asumsi terkait dentuman di Jakarta pada 11 April ada peneliti yang mengatakan disebabkan oleh petir, ada pula yang mengatakan dentuman berasal dari Gunung Anak Krakatau. 

Sementara Pos Pemantau Gunung Api Anak Krakatau di Pasauran, Banten tak melaporkan adanya dentuman meski Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi ringan. Hingga saat ini, sumber dentuman masih misterius. 

Tepat sebulan setelah dentuman di Jawa Barat dan Jakarta, warga Jawa Tengah juga mendengar dentuman pada Senin dini hari (11/5). Baik PVMBG dan BMKG mengatakan suara dentuman tidak berkaitan dengan peningkatan aktivitas erupsi gunung di Jawa Tengah. 

Hingga saat ini, PVMBG dan BMKG masih belum mengetahui penyebab suara dentuman yang terdengar di beberapa tempat di Jawa Tengah tersebut. 

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan bunyi dentuman yang dikatakan seperti ledakan tersebut berbeda dengan bunyi ledakan akibat gempa. 

2. Matahari Lockdown

Ahli astronomi mengatakan saat ini Matahari sedang mengalami fase lockdown serupa dengan lockdown yang dilakukan beberapa negara di dunia akibat pandemi virus corona Covid-19.

Penggunaan kata lockdown Matahari menandakan penurunan aktivitas Matahari atau biasa disebut dengan periode solar minimum. Pengamatan para ilmuwan menunjukkan penurunan aktivitas permukaan matahari yang drastis. 

Hal tersebut ditandai dengan bintik matahari yang menghilang. Ahli mengatakan penurunan aktivitas matahari berpotensi mengakibatkan kejadian bencana seperti periode Minimum Dalton pada abad 17. 

Kala itu, aktivitas matahari sangat rendah pada periode 1790 hingga 1830. Rendahnya aktivitas memicu penurunan suhu global dan berimbas pada produksi pangan. 

Periode tersebut ditandai dengan cuaca yang sangat dingin, gagal panen, kelaparan, dan letusan gunung berapi yang signifikan. Temperatur turun hingga 2 derajat celcius selama lebih dari 20 tahun, menyebabkan gangguan produksi pangan dunia, yang menyebabkan kelaparan. 

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengatakan fase Matahari lockdown atau penurunan aktivitas Matahari (solar minimum) tak akan menyebabkan bencana alam di Bumi. 

Menurut peneliti LAPAN Rhorom Priyatikanto mengatakan aktivitas Matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem dibanding periode 1790-1830. 

Selain itu, Rhorom mengatakan dunia modern saat ini telah siap menghadapi solar minimum. Belum lagi mengingat masalah pemanasan global yang tetap menjaga suhu Bumi meski terjadi penurunan aktivitas Matahari. 

"Aktivitas Matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem. Era modern lebih siap menghadapi aktivitas matahari yang teramat minimum. Atau setidaknya, global warming memberi kita 'surplus temperatur' sekitar 1 derajat," kata Rhorom.

3. 10 asteroid diprediksi akan melintasi Bumi

Pusat Studi Objek Dekat Bumi (Center for Near-Earth Object/CNEOS) dan Pusat Koordinasi Objek Dekat Bumi (NEOCC) menyebut ada 10 asteroid berukuran besar yang akan menjadi ancaman bagi Bumi tahun ini.

Kesepuluh asteroid itu yakni Asteroid 52768 (1998 OR2), Asteroid 136795 (1997 BQ), Asteroid 163373 (2002 PZ39), Asteroid 153201 (2000 W0107), Asteroid 163348 (2002 NN4), Asteroid 2019 UO, Asteroid 388945 (2008 TZ3), Asteroid 438908 (2009 XO), Asteroid 2012 XA133, dan Asteroid 363599 (2004 FG11).

Baru-baru ini asteroid 1997 BQ telah melintasi Bumi pada 21 Mei lalu, bertepatan dengan 28 Ramadan 1441 H. 

Ada lima asteroid (2009 XO, 2020 JE, 2020 JF, 2020 HM4, 2016 HP6) yang mendekat ke arah Bumi pada 7 Mei 2020. Selanjutnya ada satu asteroid (2020 HB6) yang mendekati Bumi pada 8 Mei. Sementara itu, asteroid 2020 HC6 bergerak mendekati Bumi pada 9 Mei 2020. 

4. Hari Tanpa Bayangan

Pada Maret masyarakat disuguhkan fenomena hari tanpa bayangan pada siang hari. Kulminasi atau transit atau istiwa adalah fenomena ketika Matahari tepat berada di posisi paling tinggi di langit di suatu daerah.

Saat Matahari berada di tepat di atas suatu daerah atau sama dengan lintang pengamat, fenomena ini disebut sebagai Kulminasi Utama.

Pada saat itu, Matahari akan tepat berada di atas kepala pengamat atau di titik zenit. Akibatnya, bayangan benda tegak akan terlihat 'menghilang' karena bertumpuk dengan benda itu sendiri. Hari kulminasi utama dikenal juga sebagai hari tanpa bayangan. 

Fenomena ini akan terjadi lagi pada 8 Oktober 2020 pukul 11.40 WIB. Lalu fase kulminasi akan kembali terjadi di Indonesia mulai 6 September 2020 di Sabang, Aceh, yang jadi titik paling utara Indonesia. Kulminasi ini berlangsung hingga 21 Oktober 2020 di Ba'a, NTT yang ada di titik paling selatan Indonesia. 

Titik kulminasi akan terjadi bergantian di tiap kota sesuai dengan garis lintang masing-masing kota. Setiap tahun tiap wilayah di muka Bumi bakal mengalami dua kali momen hari tanpa bayangan. 

5. Komet Swan dan Komet Atlas

Pandemi Covid-19 juga diiringi dengan penampakan dua komet, yaitu Swan dan Atlas.

Observatorium Bosscha menyebut komet Swan dapat terlihat mulai 2-18 Mei 2020. Komet ini bisa diamati menggunakan kamera DSLR.

Lewat unggahan di akun Instagram resminya dikatakan komet SWAN pertama kali ditemukan 10 April 2020 oleh astronom amatir asal Australia bernama Michael Mattiazzo.

Sementara itu, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) mengatakan masyarakat bisa mengamati fenomena Komet Atlas yang akan melintas di langit utara Indonesia pada 9 April lalu. Masyarakat membutuhkan teleskop agar bisa mengamati fenomena alam ini

Komet merupakan batuan kecil yang berada di Tata Surya dan diselimuti es. Saat mendekati Matahari, komet akan melepaskan debu dan gas yang tampak seperti ekor.


Sumber: CNNIndonesia.com

















BAGIKAN

0 facebook: