T Taufiqulhadi Saat Berada di Salah Satu Kedai Kopi di Banda Aceh (Foto: Ist) |
Berikut pengalaman T. Taufiqulhadi saat ke Aceh baru-baru ini bersama timnya pada acara kunjungan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh ke Banda Aceh, dan Sekolah Sukma Bangsa di Kabupaten Bireun tempat digelarnya acara Kenduri Kebangsaan pada Sabtu (22/2/2020).
Bersama rombongan, Tatkala saya sedang santai di sebuah "caffee" di bilangan Pangoe, Banda Aceh, seorang anak muda bercelemek mendatangi saya dan dengan ramah meminta saya untuk meminum satu sloki minuman asing, "bir pala".
Saya menerima dan setelah mendekatkan ke hidung untuk membaui aroma sejenak, langsung saya teguk "bir pala" itu.
Bir pala pun melewati tenggorokan dan menerobos dada dan langsung bersarang di perut saya. Sejenak saya merasakan sensasi yang berbeda: badan terasa lebih hangat di tengah gerimis senja. Saya meminta satu sloki lagi, bukan tester, tapi saya meminta dalam hubungan transaksi biasa.
Pemuda bercelemek ini, pemilik kedai sekaligus bertindak sebagai pramusaji, mengangguk dan menyajikan kepada saya dalam teko kecil, plus sloki. Saya tawarkan kepada teman yang duduk di sebelah, dan teman dari Jakarta tersebut meminum lebih banyak daripada saya.
Adanya imbuhan "bir" terhadap minuman itu tentu saja ada kesengajaan dan sekaligus diharapkan ada nilai sensasi dalam upaya menggaet pelanggan. Dan, sesungguhnya, menjelang larut malam, para pengunjung pun kian banyak mengisi "caffee" tersebut.
Setelah meneguk dua sloki, badan pun terasa lebih hangat tapi bukan karena pengaruh alkohol. Saya menduga itu karena sifat ekstrak buah pala yang memang menimbulkan rasa hangat bagi tubuh kita. Lebih-lebih bir pala ini, selain menimbulkan efek hangat dan memang mengandung alkohol juga, tapi tidak menimbulkan pengaruh memabukkan.
Adanya kandungan alkohol itu karena pembuatannya melalui proses fermentasi. Sebagaimana proses pembuatan tape yang juga mengandul alkohol. Tapi ketajaman manis air tape berbeda dengan bir pala. Jika air tape terlampau manis, bir pala yang kita teguk sedikit demi sedikit dalam sloki itu, manisnya ringan saja, dan itu pun telah ditutup dengan testa dan aroma pala yang khas.
Setelah mengalami pengalaman mendadak dengan bir pala, kami mencoba lebih jauh lagi soal berbagai minuman "temuan baru" di Aceh, dan akhirnya kami mendapatkan nama jenis minuman lain yang tak kalah "heboh"-nya: kopi wine.
Kopi wine bisa kita temukan di beberapa tempat di Banda Aceh, yaitu sekitar Jalan Ali Hasjmi, Blang Padang dan lainnya. Tapi saya memutuskan ke jalan Syiah Kuala di Cafe "Donya Drop Daruet". Pemiliknya adalah seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan tesisnya di Taiwan.
Namanya Usuluddin (tidak hubungan apa pun dengan salah satu bidang studi di UIN). "Donya Drop Daruet" ini juga cukup ramai pengunjungnya, dan Usuluddin ini bukan hanya penjual kopi wine. Tapi anak muda ini juga adalah seorang eksportir kopi pemula.
Ia pengekspor kopi Gayo, dan sekaligus membuka cafe, yang di kafenya menyediakan semua jenis kopi Arabika Gayo. Misalnya: Gayo Arabica Luwak, Gayo Arabica Honey, Gayo Arabica Longberry, Gayo Arabica Wine, Gayo Arabica Peaberry, Gayo Arabica Natural, dan entah apa lagi.
Saya meminta kopi wine dan setelah itu baru campuran kopi wine dan kopi luwak. Pertama saya menyeruput kopi wine, yang saya pikir disajikan dalam keadaan panas. Tapi ketika menyentuh bibir, yang saya rasakan sebaliknya: dingin. Saya dekati sedikit ke hidung, dan saya rasa aroma alkohol yang mengambang.
Dari mana alkohol ini? Kopi wine dibuat melalui proses fermentasi juga. Usuluddin menceritakan, pertama ia harus memilih biji kopi berwarna merah yang terbaik. Dengan kulit-kulitnya, biji kopi ini dibungkus dalam plastik pro green.
Kemudian dimasukkan ke dalam goni, dan disimpan di tempat dingin selama dua minggu. Setelah mencapai masa tersebut, ia dibuka dan diproses mesin menjadi bubuk. Baru disuguh menjadi kopi wine, Setelah menikmati kopi wine, saya pindah ke kopi wine yang dicampur dengan kopi luwak. Minuman yang terakhir ini, telah berubah menjadi rasa kopi biasa tapi rasanya masih sangat nikmat.
Menjelang keberangkat kembali ke Jakarta, seorang teman yang menemani saya ke Bandara, mengajukan pendapat untuk singgah di sebuah cafe di bilangan Berawe, namanya Moderner, jika tidak salah. "Kita coba minuman jenis baru, namanya kopi nira," ungkap teman tersebut, seraya menyebut sejenis minuman yang sangat menggugah hati saya.
Sesampai di cafe itu, kami segera menyebut "kopi nira", dan pramusaji pun yang bersetelan hitam-hitam dan necis, mengangguk dan langsung menghilang ke belakang. Tak lama, ia muncul lagi dengan dua gelas dalam tatakan. Cairan dalam gelas itu, hitam-putih.
Inilah, pikir saya, "kopi nira" yang cukup terkenal itu: yang hitam dibagian atas adalah kopi, yang putih di bagian bawah air nira. Jika diaduk, warnanya berubah menjadi kecoklatan. Saya tidak mengaduk, tapi langsung meminumnya.
Setelah menghabiskan separuh, maka kini saya siap-siap menikmati sisa di bagian bawah yang putih. Jika yang hitam rasanya jelas yaitu sejenis kopi arabika yang nikmat, yang putih adalah air nira yang biasa saya teguk kala kecil di kampung.
Air ini diambil dari pohon nira atau pohon ijuk yang kian langka. Hampir mirip dengan legen yang diambil dari pohon kelapa. Air nira dan legen yang disimpan lebih dari empat hari akan berubah menjadi tuak.
"Apakah mungkin kopi dicampur dengan air nira yang berusia enam hari," tanya saya kepada Donny, pramusaji yang necis tadi. Ia berpikir sejenak, kemudian tersenyum.
"Bisa saja," jawabnya. "Kalau begitu, saya dibuatkan satu lagi yang niranya telah berusia enam hari," aju saya. Ia tidak segera menjawab, dan juga tidak segera pergi.
"Kami tidak menyediakan disini," akhirnya ia menjawab, sambil berbalik ke belakang. Tak lama ia muncul lagi dengan minuman "sanger".
Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi.
0 facebook: