Yati Bersama Anak - anaknya. |
Yati berkisah, suaminya Ayong hanya bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) di PT. Bumi Flora sejak tahun 2003 lalu, dan sampai saat ini masih berstatus BHL. Yati mengaku telah dikaruniai 10 orang anak, 6 diantaranya dalah laki - laki, yang sulung berusia 16 tahun, sedangkan yang bungsu baru berumur 1 tahun.
Namun, diantara sekian banyak anak Yati yang telah memasuki usia sekolah semuanya tidak mendapatkan pendidikan formal maupun informal seperti anak - anak pada umumnya, itu terjadi akibat keterbatasan ekonomi, ia mengaku penghasilan suaminya sebagai buruh hanya cukup sekedar untuk makan.
Pasangan kurang mampu ini mulanya berasal dari Aceh Tamiang, sejak belasan tahun yang lalu hijrah, dan mereka mengadu nasib ke Aceh Timur, namun kini mereka mengaku telah tercatat sebagai warga Desa Blang Rambong, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur.
"Yang bekerja Ayah mereka, anak-anak yang sudah besar juga ikut bekerja membantu ayahnya,” Kata Yati sambil menunjukkan anak-anaknya yang sedang berkumpul. Sabtu (7/9/2019).
Saat ditanya, apakah pihak perusahaan ada memperhatikan terhadap pendidikan anak-anaknya, Yati hanya terdiam, tampak dengan wajah yang sedih ia memberi isyarat sambil menggeleng - gelengkan kepala.
Yati juga tidak begitu lugas menceritakan kisah hidupannya, entah apa yang diakhawatirkan. Ia berharap agar sang suami yang menceritakan lebih detail, sementara suaminya saat itu sedang bekerja dikebun.
Sementara itu, Azhari selaku Kepala bagian Tata Usaha (KTU) di perusahaan perkebunan milik PT. Bumi Flora mengatakan, saat ini perusahaan tersebut memiliki karyawan tetap sebanyak 68 orang, sedangkan yang lain merupakan Buruh Harian Lepas (BHL) .
Dikatakan dia, bahwa sistem di bekerja PT. Bumi Flora, yang bekerja dibidang produksi itu adalah sistem borong, mereka tidak ada terikat dengan perusahaan.
“Kalau bagian produksi, sistem bekerjanya itu borong, mereka tidak diangkat menjadi karyawan tetap. Berapa kilo hasil yang dipanen segitu yang di bayar,” kata Azhari.
Dia juga mengatakan bahwa perusahaan hanya mampu menyediakan pendidikan ditingkat usia dini (PAUD), "jika anak - anak para karyawan tetap yang sudah masuk sekolah ditingkat SD, SMP maupun SMA, mereka kita sarankan ke sekolah - sekolah terdekat.” Katanya.
Nasib memang berbeda, seharusnya anak - anak diusia sekolah itu mesti mendapatkan pendidikan yang cukup sebagai hak warga negara, sekalipun yang hidupnya melarat sebagai buruh seperti keluarga Yati, namun apa hendak dikata, dia hanya mampu meratapi nasib, dengan terpaksa harus merelakan buah hatinya untuk tidak bersekolah.
Apakah mungkin hanya anak - anak ibu Yati dari keluarga kurang mampu ini saja yang bernasib malang, bisa jadi masih ada dikeluarga yang tidak mampu lainnya bernasib serupa, namun kisah hidupnya belum muncul kepermukaan seperti yang dialami oleh semua anak - anak Ibu Yati yang tidak bersekolah akibat terhimpit ekonomi.
Sumber: modusaceh
0 facebook: