H. A Muthallib/Advokat |
Segerombolan sempalan media merangsek menuju Polisi Resort (Polres) kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Kamis, (12/9/2019) Pukul 9:41 Wib kemarin.
Apakah mereka ingin berdemo atau berdialog kepada petinggi di Polres Aceh Taming?. Bukan...bukan itu, kehadiran mereka ke Polres setempat ingin mengadvokasi saudara Afrijal, wartawan nusantaraterkini.com yang terindikasi paksa digiring ke ranah Pidana dan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Afrijal didelik atas pemberitaan ‘Belum Setahun Jalan yang Diawasi Tim TP4D Sudah Rusak' senilai Rp.24,9 miliar bersumber Otsus tahun 2018, dikerjakan oleh ‘PT. MMR’ dikabupaten Aceh Tamiang, Aceh.
Dirinya didera dengan tindak pidana umum, atas pencemaran nama baik dan ITE, notabenenya kasus tetsebut murni sengketa delik pers yang terkesan dipaksa keranah pidana.
Wajah pendar Afrijal terlihat dibilik sekat ruang Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polres Aceh Tamiang berukuran 2x2 meter, ada dua kursi chitos, meja setengah biro, diatasnya terdapat satu unit laptop merek Asus dan seorang Juru Periksa (Juper) atas nama Brigadir Rico Febrianto, SH. Tepat didepan pesakitan dan siap memainkan jari lentiknya diatas keyboard laptop dengan pertanyaan.
Wajah kaku Afrijal sontak nanar dan mengatakan, “saya menolak untuk di Berkas Acara Pemeriksaan (BAP), inikan delik pers, bukan tindak pidana umum. Jadi harus mengacu kepada Undang Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999 dan isi butir butir nota kesepahaman (MoU) antara Polri dan Dewan Pers”, tegasnya.
Dan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) perwakilan Kota Langsa pendamping sekaligus pengacara Afrijal angkat bicara, YARA mengatakan, kasus Afrijal terlalu dipaksakan dan terlalu dini untuk ditingkatkan dari penyelidik naik menjadi penyidik.
Ketua YARA Perwakilan Langsa, H A Muthallib, Ibr, SEH.,SH.,M.si, M.Kn, minta, kasus Afrijal ditinjau ulang. Sebab Pelapor tidak menggunakan, hak jawab, hak koreksi dan hak keberatan atas pemberitaan tersebut untuk dilayangkan ke Redaksi dan Dewan Pers.
YARA perwakilan Kota Langsa, dimotori H A Muthallib, Ibr, SE.,SH.,M.si., M.Kn., Sawaludin, SH, Dan Mufti Ilmiyansyah, SH. Menjelaskan, kepada sejumlah Wartawan Jumat, (13/9/2019) menyebutkan seharusnya pihak kepolisian tidak memaksakan kasus ini, sebab institusi kepolisian juga memahami isi dari Undang Undang Kejurnalistikan dan isi MoU antara pihak Dewan Pers dan Polri.
“Polisi jangan bertindak gegabah, mereka (para penyelidik) harus jeli melihat ranah hukum nya. Tidak serta merta terindikasi memuaskan sepihak, dengan menaikan status si pesakitan. Kita melihat ada yang dilampaui dalam sengketa ini, hak pelapor secara regulasi tidak dipenuhi”, tegas H A Muthallib yang juga Dosen Fakultas Hukum Unsam Langsa.
Lebih lannut H A Muthallib, yang juga mantan Wakil Ketua PWI ACEH, menjabarkan, sah sah saja pihak Tipiter menerima laporan delik Pers dari Pelapor karena merasa dirugikan dari satu pemberitaan produk karya jurnalistik.
Akan tetapi, ditelusuri terlebih dahulu regulasinya dan tahapan yang harus Pelapor lalui, “saya tidak sebutkan lagi prosesnya, sebab diatas sudah diuraikan, ini yang saya sebut kejelian dalam melihat sengketa Pers”, jelas H Thallib.
Dia menambahkan, pihak Tipiter kan terdiri dari orang orang pinter tentang delik hukum, artinya Kampiun dan sangat jeli, tapi kenapa ranah sengketa Pers bisa mengabaikan acuannya.
“Seharusnya, melihat sengketa pers tersebut dengan bijak, jangan paksakan kehendak dari Pelapor, lalu mengabaikan regulasi yang sudah diatur dalam jurnalistik”.
Thaleb melihat, ada kejanggalan dalam Pelaporannya, seharunya yang melakukan Pelaporan adalah Direktris PT MMR bukan atas nama Ir H JH, jika menilik keabsahan Pelaporan saja sudah melenceng.
“Saya kenal dan tahu Ir H JH, dia PNS, Dosen, lalu untuk mengelabui dari PNS nya ada indikasi, ditaruklah nama istrinya sebagai Direktris PT MMR. Untuk menjalankan usahanya. Beliau orang Banda Aceh, tinggal di Lamdingin, jelas H Thallib , Ketua Perwakilan YARA Kota Langsa.
0 facebook: