H Muhammad Saleh (Foto: modusaceh.co) |
RILIS.NET, Banda Aceh - Juru Bicara (Jubir), Dewan Pimpinan Pusat (DPA) Partai Aceh (PA), Muhammad Saleh menegaskan. Tidak alasan untuk melarang Bendera Aceh tak dapat dikibarkan di Aceh. Terutama menyambut Milad MoU Helsinki Ke-15, tanggal 15 Agustus 2020 dan untuk jangka waktu seterusnya.
Alasannya, produk regulasi Bendera Aceh telah diputuskan secara legal oleh DPR Aceh melalui Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013, tentang Bendera dan Lambang Aceh serta sudah dilembar-daerahkan Pemerintah Aceh saat Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah.
Selain itu, sesuai amanah Pasal 18B ayat (1) UUD Tahun 1945, memberikan legitimasi terhadap Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013, tentang Bendera dan Lambang Aceh, sebab merupakan hasil kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan GAM.
Karenanya, status dan kedudukan Bendera Aceh, sudah menjadi milik lima juta lebih rakyat Aceh. Ini bermakna, Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013, tentang Bendera dan Lambang Aceh yang terdiri dari Pasal 18B UUD Tahun 1945 serta perumusan Pasal 246 dan Pasal 247 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006.
“Karena itu, kami menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat Aceh untuk memutuskan dan mengibarkan Bendera Aceh tanggal 15 Agustus 2020,” kata H. Muhammad Saleh, Juru Bicara DPA Partai Aceh, 10 Agustus 2020 di Banda Aceh.
Kedua, akibat hukum dari adanya Pasal 246 dan Pasal 247, maka berlaku dan sah untuk diterapkan melalui pembentukannya Qanun Aceh. Ketiga, konsekuensi yuridis adanya Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013, berlaku pula secara yuridis dan dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh, karena sudah diundangkan dalam lembaran daerah.
“Tentu sudah berlaku secara otomatis karena pada saat disahkan Gubernur Aceh selaku Kepala Pemerintah Aceh dan DPRA secara serta merta diundangkan dalam lembaran daerah Pemerintah Provinsi Aceh,” tegas Shaleh yang juga mantan anggota Tim Penasihat Presiden RI BJ. Habibie, untuk urusan penyelesaian konflik Aceh.
Maka, Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah, memiliki tanggungjawab penuh terhadap pengibaran Bendera Aceh. Ini sejalan dengan 15 tahun usia perdamaian (MoU Helsinki) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia.
“Rakyat Aceh sudah menunggu 15 tahun lamanya dengan serangkaian pertemuan. Terakhir, Wali Nanggroe Aceh Tgk Malek Mahmud Al Haytar bersama Ketua KPA/PA H. Muzakir Manaf (Mualem) beserta sejumlah Pengurus DPA PA bertemu dengan Presiden RI, Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta,” ujar Shaleh.
Menurut Shaleh, jika pun ada colling down beberapa kali, itu bukan keputusan hukum. Karena Bendera Aceh merupakan salah satu ciri dari suatu lambang daerah yang didefenisikan sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi masyarakat daerah Aceh. Ini mencerminkan kekhasan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, regulasi menjelaskan, lambang daerah dan Bendera Aceh, berkedudukan sebagai tanda identitas daerah. Ini bermakna, setiap lambang daerah, baik logo, bendera dan himne dapat dipahami sebagai penanda suatu daerah yang secara kultur, politik dan kehendak sosial yang melekat pada rakyat Aceh.
Memang, Pasal 6 Ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007, tentang Lambang Daerah mengatur, desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun ketentuan ini mengandung ironi, terutama dalam memahami dan memberi tafsir dalam konteks Aceh, karena tidak dilandasi pada penafsiran historis.
“Substansinya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menjadi bagian dari para pihak dalam perundingan damai dengan Pemerintah Republik Indonesia, yang dilekatkan dengan simbol bendera bintang bulan. Selanjutnya, bila merujuk pada tahapan dan proses pembentukan qanun bendera dan lambang Aceh, suanana DPR Aceh tidak hanya diisi Partai Lokal tapi juga Partai Nasional. Jadi, apalagi yang jadi masalah sehingga Bendera Aceh tak boleh dikibarkan,” jelas Shaleh.
Menurut Shaleh, DPR Aceh melalui Sidang Paripurna ke-II, Jumat, 22 Maret 2013 telah mengesahkan Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh menjadi Qanun Bendera dan Lambang Aceh.
Keputusan ini sesuai dengan kultur dan syariat Islam yang dijalankan di Aceh selama ini. Hal tersebut jika ditafsir sesuai dengan suasana batin dan kehendak pembentukan qanun saat itu. Kondisi ini sejalan dengan MOU Helsinki bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
“Maka pemerintah pusat tidak hanya melakukan penyelarasan, harmonisasi, dan sinkronisasi terhadap aturan dan landasan pembentukan peraturan perundangan-undangan saja. Sejatinya dapat diselaraskan pula dengan niat luhur perdamaian Aceh sebagai pijakan sosial, politik dan hukum pemerintah. Dan, menjadikan tafsir pembentuk qanun (DPRA) tersebut sebagai landasan kepentingan hukum yang asli,” sebut Shaleh.
Karena itu, menjalankan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemerintah Aceh untuk merasionalisasikan kembali terhadap adanya respon Jakarta (Pemerintah Indonesia) mengenai persoalan ini. Karena, bagaimanapun qanun Bendera dan lambang Aceh merupakan produk kesepakatan antara DPR Aceh dan Pemerintah Aceh yang harus diperjuangkan bersama.
“Apakah ada jaminan jika 15 Agustus 2020 dan seterusnya Bendera Aceh tidak berkibar di Aceh? Kedua, apakah bila Bendera Aceh berkibar, Aceh tidak lagi berada dalam wilayah Indonesia? Dan ketiga, apakah bila Bendera Aceh berkibar setelah adanya MoU Helsinki, Aceh akan merdeka? Jadi, tak perlu sindrom secara berlebihan,” kritik Shaleh. (rn/Red)
0 facebook: